13.19

Keadilan Tuhan

( Ulangan 16 : 19 )

Salib Yesus
Warna iman tetap menonjol dan utama, namun dalam peristiwa penyaliban Yesus terdapat nuansa politik yang begitu kental. Tidak bisa dipungkiri bahwa secara historis, kematian Yesus di kayu salib merupakan hasil persengkongkolan politisasi agama antara para pemuka agama Yahudi dengan para penguasa Romawi di bawah komando pimpinan Pontius Pilatus.

Dapat dikatakan secara politis, bahwa Yesus disalibkan sebagai seorang subversif, pemberontakan dan perampok. Atas persengkongkolan tersebut, maka Yesus diadili dan dihukum mati dan salibkan sebagai tahanan politik. Citra subversif dikenakan kepada Yesus antara lain atas fakta sosial, dimana Yesus mengusir orang-orang yang berjual beli di Bait Allah.

“Lalu tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Yerusalem. Sesudah Yesus masuk ke Bait Allah, mulailah Ia mengusir orang-orang yang berjual beli di halaman Bait Allah. Meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati dibalikkan-Nya, dan Ia tidak memperbolehkan orang membawa barang-barang melintasi halaman Bait Allah. Lalu Ia mengejar mereka, kata-Nya : Bukanlah ada tertulis; Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu ini telah menjadikannya sarang perjamuan” (Markus 11:15-17).

Dalam Injil dikisahkan, bahwa Yesus mengusir orang dari Bait Allah pada hari Paskah Yahudi. Yang diusir adalah mereka yang secara ekonomis berbisnis dengan menyusahkan rakyat di Bait Allah. Yakni para penukar uang, para penjual binatang kurban, dan orang-orang yang berduit dikuasai oleh para pemuka agama Yahudi yang mendominasi perayaan Paskah Yahudi. Secara agamis, perayaan Paskah Yahudi adalah mengenang pembebasan Israel dari Mesir.

Dapat dikatakan adalah hari kemerdekaan, yang dirayakan saat mereka sendiri sedang dijajah penguasa Romawi, menjadi sebuah ajang demonstrasi yang dapat membahayakan stabilitas nasional. Tindakan Yesus yang mengusir orang-orang yang berjualan di Bait Allah, pasti telah menimbulkan huru hara secara sosial.

Didukung oleh kesaksian palsu yang dirancang oleh para pemuka yahudi, sebagai dalang kerusuhan di Bait Allah, provokasi anti pajak dan pengakuan diri-Nya sebagai raja, Yesus diserahkan kepada penguasa politik Romawi agar disalibkan dengan tuduhan subversif. Dengan demikian akibat dari iri hati dan sakit hati dialihkan menjadi tuduhan subversif. Demikianlah Yesus mati disalibkan dengan strategi politik, sebagai korban dendam, kebencian, dan permusuhan para pemimpin agama Yahudi kepada-Nya.

Yesus berpihak kepada Rakyat Miskin
Sejak awal penampilan Yesus di muka umum, para pemuka agama Yahudi, orang-orang Farisi, Imam-Imam Yahudi, dan Ahli Taurat, bersepakat untuk membunuh Yesus. Ajaran Yesus menjadi pedang bagi mereka yang mendengarkannya, karena memuat kritik tajam bagi mereka yang menikmati status quo keagamaan dan pemerintahan yang tidak ada keadilan (tidak berlaku adil).

Dalam sikap kritik tajam, Yesus selalu berpihak kepada rakyat (umat) yang miskin. Dalam pengolahan dan perubahan dalam bidang sosial, ekonomi, keagamaan, masa rawan dan kerusuhan. Dalam situasi itulah, Yesus secara kritis menyoroti keberuntungan kelompok-kelompok elit-religius dan politik yang kontradiktoris dengan kenyataan kemiskinan rakyat.

Secara sosial, masyarakat Kristen adalah mayoritas tertindas, seperti yang kita alami sekarang, namun Yesus tetap menjadi jawaban yang adil(2 Korintus 4:8-9). Dalam situasi dan strata sosial seperti itu, pada masa Yesus daerah Palestina atau Israel menjadi ajang kerusuhan para penguasa dan penjajah Romawi. Pada masa itu Yesus mengembangkan sikap radikal berpihak kepada kaum miskin dan marginal.

Kata “miskin” merupakan istilah komprehensif bagi semua kategori orang yang disingkirkan dalam masyarakat, mereka yang mengenal dalam establishment Yahudi. Termasuk didalamnya orang-orang sakit, buta, lapar, pendosa, pemungut cukai, tawanan, golongan rendah dan para pelacur. Yesus berpaling dan memihak mereka, sebab bukan kesalahan mereka terjerat dalam kemiskinan.

Salib Yesus adalah puncak pembelaan setiap insan yang dibelenggu oleh penderitaan, dalam perspektif ini, kematian Yesus disalib, meskipun dengan materei politis-traumatik, justru inilah tetap menjadi relevan sepanjang zaman, juga bagi bangsa kita umat Kristiani, dalam menghadapi situasi dan kondisi sekarang ini.

Yesus Kristus tidak memihak
Rasul Paulus berkata dalam (Kisah Para Rasul 10:34) “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang”. Selanjutnya Paulus, berkata; (Roma 2:11) “Sebab Allah tidak memandang bulu”. Dalam (Efesus 6:9) Paulus, berkata; Dan kamu tuan-tuan perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di Surga dan Ia tidak memandang muka.

Ayat ini membuktikan bahwa Tuhan tidak memihak. Dalam (1 Timotius 6:16) menyatakan bahwa Allah adalah satu-satunya yang tidak takluk kepada maut”. Secara harafiah, kata Yunani untuk tidak takluk kepada maut adalah Athanasia, yang berarti tidak binasa menunjukkan bebas dari maut. Hanya Tuhan yang tidak takluk kepada maut.