14.15

Robert dan Lea Sutanto

Anda pernah membayangkan Pdt. Robert Sutanto berdandan ala hippies? Itu memang kisah tempo doeloe saat ia remaja. Namun, itulah salah satu proses kreatif untuk menemukan jati diri. “Waktu itu zaman hippies, saya memakai baju ala hippies, celana ungu dengan kombinasi kantong merah. Tetapi lama-kelamaan kita menemukan jati diri sendiri kan?” ungkap Robert. Setelah menikah, pasangan Robert & Lea mulai dikenal sebagaipenyanyi gospel dengan lagu-lagu penyembahan yang penuh keintiman (intimacy worship). Sementara itu, panggilan dalam pelayanan penggembalaan telah membawa mereka ke lima benua dan dibantu rekan-rekan hamba Tuhan mendirikan jemaat di 15 tempat. Namun, Tuhan memanggil mereka kembali ke Indonesia dan memulai dengan jemaat yang relatif kecil, Mei 2005 lalu. Perhatian dan kepedulian terhadap korban gempa di Jogja dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006 lalu akhirnya melahirkan Sahabat Sejati – New Wine, pelayanan sosial yang telah menjangkau daerah Baduy melalui pengobatan. Bagaimana pergulatan hidup pasangan ini dan apa saja pandangannya tentang musik dan kekristenan saat ini di tengah dunia yang terus berubah?

Menurut Anda, apa yang sedang terjadi dengan gereja saat ini?

Saya perhatikan selama 10 tahun terakhir ini, Tuhan sedang mempersiapkan kirbat baru untuk anggur baru. Ada perubahan dalam paradigma kepemimpinan. Kepemimpinan yang dipakai 10 tahun bahkan 5 tahun lalu, hari ini sudah berubah. Struktur pembinaan dalam kepemimpinan gereja sekarang lebih ke relationship. Dalam segi penggembalaan dan musik juga terjadi perubahan paradigma. Saya melihat ada 5 C yang perlu dimiliki gereja, yaitu: compassion, care, communication, commitment, dan community.

Pertama, compassion (belas kasihan), ini bukan hanya untuk orang-orang di dalam gereja, tetapi juga lingkungan sosial. Dengan berbagai bencana yang melanda Indonesia seharusnya membuka mata kita bahwa kemiskinan semakin banyak. Gereja harus punya belas kasihan.

Kedua, dari belas kasihan timbullah perhatian (care). Care itu memerhatikan apa yang bisa kita bantu. Kepemimpinan sekarang bukan lagi memerintah dari atas, tetapi lebih pada memerhatikan “apa yang bisa saya lakukan buat Anda” (servanthood). Tugas saya sebagai gembala adalah membekali dan memperlengkapi agar jemaat bisa melayani dengan spirit yang sama, yaitu servanthood. Saya kira kita harus turun takhta semua. Gereja itu milik Tuhan, kita cuma hamba-Nya. Kita tidak membangun kerajaan sendiri, tetapi membangun the Kingdom of God. Kita bukan pemilik, tetapi penilik. Selama penilik itu memiliki hati hamba, ia akan bergerak secara efisien.

Ketiga, komunikasi. Saya melihat banyak problem yang dihadapi akhir-akhir ini di berbagai tempat karena komunikasi yang tidak lancar. Komunikasi yang baik harus jelas dan tegas sehingga pesan itu dimengerti dengan jelas.

Keempat, setelah komunikasi baru bicara komitmen. Komitmen pertama harus kepada Tuhan secara pribadi, kemudian tercermin dalam pelayanan. Jangan terbalik.

Kelima, komunitas tanpa tembok. Ini bukan nama, tetapi fungsi. Setiap orang bisa berinteraksi dan berjejaring dengan tulus dan murni, tanpa agenda tersembunyi. Di dalam gereja, semua orang – kaya-miskin – bisa bersama-sama beribadah tanpa ada perbedaan dan rasa terintimidasi. Keluar, bisa berjejaring dengan semua gereja tanpa ada rasa insecure (tidak aman). Kita bergerak dalam Kingdom Principles dan yang menjadi pemimpin adalah Tuhan Yesus, bukan gembala-gembala. Komunitas ini akan makin besar kalau ada compassion, care, komunikasi, dan komitmen.

Apa yang sedang Tuhan kerjakan dengan anggur baru dan kirbat baru ini?
Kirbat baru bicara tentang kirbat yang senantiasa diperbarui. Anggur biasa disimpan dalam kantong kulit. Kantong ini lama-kelamaan menjadi kaku. Anggur baru tidak bisa dituangkan ke dalam kantong lama karena akan pecah (Lukas 5) karena itu perlu diperbarui. Caranya dengan direndam dalam air, diolesi minyak lalu dijemur agar kelembaban dan elastisitasnya kembali. Air bicara tentang firman Tuhan, kehadiran Tuhan.

Minyak bicara pengurapan karena firman Tuhan mengajarkan dengan pengurapan itu kita mengetahui agenda Tuhan. Panas (dijemur) bicara proses. Kita masih diproses oleh Tuhan. Melalui proses itu kita belajar Tuhan mau kerja apa. Jadi, kalau mengalami proses jangan mengeluh, kenapa Tuhan aku begini, dsb. (self center), tapi tanya Tuhan mau kerja apa. Itulah pembaruan yang sedang terjadi. Tuhan bicara dalam hadirat-Nya melalui mimpi, firman-Nya, situasi, dan kejadian sehari-hari.

Bagaimana kita bisa tanggap? Minyak itu mengurapi kita sehingga kita tanggap dan lembut. Ini proses pembelajaran, baik melalui situasi di sekeliling kita, orang lain, apa yang sedang terjadi di dunia, dsb. Jadi, masalahnya bukan anggur barunya karena Roh Kudus terus bekerja. Tetapi pada kirbatnya karena sering mengkristal, menjadi kaku. Itu sebabnya ketika Roh Kudus bergerak dengan cara lain kita punya kecenderungan menghakimi.

Bagaimana mengatasi masalah dan menjaga keintiman dalam keluarga?

Kekuatan iman kita itu diuji melalui masalah. Dalam Pengkhotbah dikatakan, tali 3 lembar tidak bisa diputuskan. Tali pertama Tuhan, kedua suami, dan ketiga istri. Prinsipnya kita mengasihi Tuhan dulu maka kita bisa mengasihi sesama. Ketika ada masalah, suami istri harus dekat sama Tuhan dan saling melengkapi. Ada hal-hal tertentu yang harus kita selesaikan bersama-sama sebagai tim. Ada kalanya sisi-sisi saya yang kurang, istri yang tahu dan dia lengkapi, begitu pula sebaliknya. Saya percaya keintiman suami-istri dengan Tuhan itu akan menentukan kita hidup berkemenangan. Lagu juga bisa mendekatkan satu sama lain.

Dari pengalaman pelayanan di luar negeri, apa saja yang Bapak pelajari?
Utamanya tentang cross culture. Saya san-gat menikmati perbedaan budaya. Perbedaan ini memperkaya. Saya mempelajari mindset dan tradisi mereka. Dunia ini beragam. Mindset Amerika beda dengan Eropa. Eropa Utara dan Selatan pun berbeda. Sekarang ini, pembicara Amerika kalau ke Eropa dengan khotbah-khotbah yang konfrontatif, mereka tidak mau terima. Tetapi, tidak satu pun dari mereka yang menolak musik. Dalam arti lagu-lagu itu cross culture. Ini yang menarik sehingga kita bisa menjadi berkat melalui musik. Ternyata seni banyak menolong dalam menyampaikan firman Tuhan.

Dalam album terbaru New Season, ada lagu Satu Hari Lagi, apa yang ingin Anda sampaikan?

Saya ingin memberi motivasi tentang keintiman dan ucapan syukur. Lagu Satu Hari Lagi bicara tentang kedatangan Yesus kedua kali. Jadi, hari-hari ini baik ataupun buruk, marilah kita menikmati sebagai pemberian dari Tuhan. Dengan ucapan syukur kita lebih mengasihi Tuhan. Dan dengan ucapan syukur itu kita sedang diubahkan oleh Tuhan sampai kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya, dalam keintimandengan Tuhan. Apa yang melatarbelakangi lagu itu? Lagu itu lahir dari pengalaman saya collapse dua kali. Pertama, Juli 2005, ketika tidur nggak bangun-bangun bahkan sampai tidak bernafas. Kemudian istri saya “pukul-pukul” dada saya. Akhirnya saya sadar lagi dan dibawa ke dokter, tetapi dokter tidak menemukan sesuatu yang bermasalah. Lalu dibawa ke Singapura, di-CT Scan jantung dan otak, periksa darah, dan sebagainya. Semuanya normal dan dokter tidak menemukan gangguan apa pun. Bulan September 2005 saya mengalami collapseyang kedua. Kembali diperiksa oleh dokter yang sama, dan saya cari second opinion juga. Hasilnya sama, tidak ada apa-apa.Saya menyadari hal itu sebagai salah satu kemurahan Tuhan agar bisa merasakan bagaimana kalau seseorang menderita. Mungkin ini kayak proses kirbat itu agar tidak menjadi kaku.Pada suatu hari ketika saya berdoa bersama anak-anak, keluar kata-kata “satu hari lagi Tuhan berikan kepada kita. Baik ataupun buruk, siap nggak siap kita harus bisa mengucap syukur hari demi hari. Dengan ucapan syukur itu membuat kita lebih dekat pada Tuhan”. Kadang kita tidak mengerti, tetapi dalam relung hati kita merasakan bahwa kasih Tuhan itu lebih besar. Dengan dekat Tuhan kita diubahkan sedikit demi sedikit. Suatu ketika nanti pada waktu Tuhan datang kita pasti bertemu muka dan menjadi serupa dengan Tuhan Yesus.